Minggu, 18 Mei 2014

Dont determine or judge people by the title



Assalamualaikum....

Dear diary,

“Don’t ever judge people by  the title”

Ya, itulah mungkin ungkapan dari pengalaman saya hari ini.  Ada hikmah yang terkandung dari setiap cerita yang saya lihat, dengar dan ketahui, mebuat pikiran berlari-lari dalam angan dan ingin menuangkannya dalam bentuk tulisan untuk bisa bermanfaat.

Pernahkah kita menilai seseorang karena gelar yang dimiliki? Misalnya, ketika kita terjun di dunia kerja, gelar itu pasti menjadi sorotan, seolah sebagai patokan kredibilitas kita pada pekerjaan yang ditekuni. Misalnya saya bekerja sebagai staff hrd setidak-tidaknya gelar dari keilmuan yang sesuai akan memberikan nilai plus untuk kita, entah itu sebentuk penghargaan dari orang lain kepada kita atau sebagai senjata untuk diri kita dalam menggeluti pekerjaan.  Atau lain soal ketika kita memilih pasangan hidup. Pada umumnya sebentuk gelar yang menaungi nama kedua mempelai memberi nilai plus para tamu undangan, right? Seolah ada kebanggaan tersendiri baik untuk tamu undangan atau pihak penyelenggara. 

Tapi, apa yang saya dapatkan hari ini menelusuri relung dan pikiran saya. Bahwa mindset penilaian terhadap kredibilitas seseorang dapat diukur dari gelar yang dimilikinya adalah pemikiran yang salah.
Beberapa orang saya temui memiliki kisah yang sama dan sejalan. Lalu diambil simpulan, gelar tidaklah melulu merupakan cerminan kredibilitas seseorang mumpuni atas bidangnya yang ditempuh, gelar bukanlah ukuran kemapanan ilmu yang dimiliki seseorang. Ya, gelar yang didapatkan setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan formal dalam sebuah lembaga atau institusi pendidikan. Toh pada akhirnya memang pengalaman adalah guru terbaik. Waktu sebagai lembaga informal yang melahirkan guru-guru terbaik.

Terkadang terbesit wah si X lulusan X dan gelar X membuat decak kagum atas bidang keilmuannya yang tengah ditekuni. Tetapi, tanpa disadari diluar sana banyak yang mumpuni dalam bidangnya tanpa dengan tertempel gelar di namanya.

Seorang bernama Fulan memang bisa disebut pendidikan formalnya tidak begitu mulus, bahkan sempat terhenti dan memulai lagi karena ia memiliki passion dan niat yang mulia. Passion nya yang ingin mengubah jalan hidupnya dengan bekerja di Luar negeri dan niatannya yang ingin membantu keluarganya, sebagai anak laki-laki satu-satunya ia memiliki kewajiban secara materiil bagi orang tuanya, ia memupuskan kuliahnya demi membantu keluarganya. Akhirnya, ia bisa membantu membiayai orang tua dan adiknya bersekolah. Disaat ia rasa cukup dan adiknya bisa bersekolah dengan baik hingga hampir menyelesaikan kuliahnya ia pun meneruskan kembali kuliahnya. Ia menjalani kuliah sambil mengejar passionnya menjadi wirausaha. Merintis puing demi puing untuk membangun mimpinya, menjadi pengusaha yang bukan hanya bermanfaat untuk diri sendiri dan keluarga tapi juga bisa bermanfaat untuk orang lain dengan membuka banyak lapangan pekerjaan. Bukan mengkayakan diri sendiri tapi juga turut mengkayakan kehidupan orang lain. Bukan menyukseskan hanya diri sendiri tetapi ikut juga menyukseskan orang lain.

Lalu, saya disini terdiam berkaca pada diri.

Mendapat ‘teguran’ lagi dari kisah seorang Fulana teman yang bekerja di perusahaan yang sama dengan saya. Awalnya saya cukup tau saja mendengar cerita tentang Fulana tsb. Karena saya bekerja di staff hrd, jadi saya memiliki cukup data untuk mengetahui rekam jejak karyawan baik dilihat dari keluarga, pendidikan, atau pengalaman kerjanya. Fulana disini bekerja sebagai staff IT saya tahu betul berapa kisaran salary per bulan yang diterimanya. Rasanya cukup miris dengan jumlah segitu untuk seorang laki-laki di zaman sekarang dan harus membantu kedua orang tua untuk membiayai adik-adiknya. Ia tidak meneruskan kuliahnya.
Hari ini saya memintanya membetulkan keruwetan sistem yang terjadi di laptop saya. Sedikit cerita saya dapatkan darinya, tentang dirinya yang tak melanjutkan kuliah. Dari segi keilmuan wah, luar biasa keilmuan IT dan pengalaman yang didapatkannya. Sedikit terbesit, gaji perbulan yang diterima dari kantor ini rasanya tak layak ia dapatkan, di luar sana mungkin saja ia bisa mendapatkan lebih banyak, yang bisa menghargai kemampuannya itu lebih.

Awalnya perbincangan dimulai karena adanya panggilan telefon dari bank yang menawarkan asuransi pada saya. Fulana pun berujar, “saya juga mau nanti ah investasi kalau adik saya  yang ini bentar lagi lulus kuliah”. Ternyata, Fulana selama ini membantu biaya perkuliahan adiknya yang berkuliah di Perminyakan-pertambangan ITB. “wahh hebat adiknya...”, ucap saya polos. “adik-adik saya mah jangan kayak saya pokoknya”, begitu tuturnya. 

Dari perbincangan itulah saya mendapatkan informasi tentangnya, bahwa selama ini ia bekerja di perusahaan untuk membiayai pokok hidupnya dan ia bekerja tambahan untuk orangtua dan adik-adiknya,  freelance sebagai IT yang menangani proyek dengan bank tertentu, lalu menjadi guru privat SMP untuk pelajaran matematika, karena ia pernah berkuliah di Universitas keguruan negeri di bandung dengan keilmuan matematika murni. 

Mungkin, bagi saya saat saya berkuliah tak terbayangkan jikasanya saya harus berhenti kuliah dan bekerja untuk membiayai ortu atau adik. Selama ini yang saya dapatkan hidup nyaman mendapat berbagai fasilitas dari kedua orang tua. Berkuliah karena mamah ingin saya berkuliah disana, saya hanya manut pada orang tua dan menjalaninya begitu saja, lalu lulus dengan hasil yang cukup memuaskan bagi saya sudah cukup. Tapi diluar itu, ternyata masih banyak orang lain yang luar biasa perjuangannya untuk dapat berkuliah, bukan hanya demi gelar semata agar terciptanya bangga bagi kedua orang tua, melainkan ilmu. Mereka rela menggadaikan waktunya disaat orang seusianya mungkin bisa dengan mudah berkuliah tanpa harus memikirkan ini-itu  lalu mendapatkan gelar sesuai harapannya. Waktu yang mereka gadaikan waktu pula lah yang memberikan penghargaan tak ternilai padanya, atas kemuliaan yang mereka lakukan, atas alasan dari ketergadaian waktu mereka yang terbatas. Meski waktu yang bergulir telah mereka korbankan untuk kemuliaan, dalam hati kecil mereka masih ada asa untuk menggapainya, bukan hanya gelar tapi pengalaman, lingkungan, penghargaan atas dirinya dan ilmu tentunya.

Seperti di luar nalar saya, kejadiannya Fulan memulai semester baru, terdapat kesalahan saat ia meregistrasikan mata kuliah sesuai dengan beban SKS yang menjadi haknya ( biasanya SKS dapat ditempuh disesuaikan dengan IPK terakhir, misal IPK 3,5 bisa menempuh perkuliahan sebanyak 24 SKS dalam satu semester).  Ia tidak mendaftar seperti halnya teman-temannya yang lain pada satu mata kuliah, dengan santainya ia tak masalah jika harus semester depan mengambil mata kuliah tersebut, toh ia masih bisa mengikuti perkuliahan tsb seperti biasanya. Dengan bersemangat ia mengambil perkuliahan yang jelas-jelas tidak masuk kedalam perhitungan SKS yang sudah ditempuhnya. “...Kan yang terpenting ilmu nya, bukan SKS nya, sekarang ikut masuk kelas, semester depan juga”. Hehe orang yang aneh.
Begitulah cerita hari ini, cukup menarik dan menohok saya. Bercermin pada diri “Maka nikmat tuhan-Mu manakah yang telah kamu dustakan?”.

Dont ever determine or judge people what they have now, but what they have to do with they life.

Ya, itulah hidup banyak kisah-kisah yang menakjubkan jika kita ketahui, cermati, dan syukuri.

Wassalam.
Catatan harianku, 19-05-2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar