Assalamualaikum....
Dear diary,
“Don’t ever judge people
by the title”
Ya, itulah mungkin ungkapan dari pengalaman saya
hari ini. Ada hikmah yang terkandung
dari setiap cerita yang saya lihat, dengar dan ketahui, mebuat pikiran
berlari-lari dalam angan dan ingin menuangkannya dalam bentuk tulisan untuk bisa bermanfaat.
Pernahkah kita menilai seseorang karena gelar yang
dimiliki? Misalnya, ketika kita terjun di dunia kerja, gelar itu pasti menjadi
sorotan, seolah sebagai patokan kredibilitas kita pada pekerjaan yang ditekuni.
Misalnya saya bekerja sebagai staff hrd setidak-tidaknya gelar dari keilmuan
yang sesuai akan memberikan nilai plus untuk kita, entah itu sebentuk
penghargaan dari orang lain kepada kita atau sebagai senjata untuk diri kita
dalam menggeluti pekerjaan. Atau lain
soal ketika kita memilih pasangan hidup. Pada umumnya sebentuk gelar yang
menaungi nama kedua mempelai memberi nilai plus para tamu undangan, right? Seolah
ada kebanggaan tersendiri baik untuk tamu undangan atau pihak penyelenggara.
Tapi, apa yang saya dapatkan hari ini menelusuri
relung dan pikiran saya. Bahwa mindset penilaian terhadap kredibilitas
seseorang dapat diukur dari gelar yang dimilikinya adalah pemikiran yang salah.
Beberapa orang saya temui memiliki kisah yang sama
dan sejalan. Lalu diambil simpulan, gelar tidaklah melulu merupakan cerminan
kredibilitas seseorang mumpuni atas bidangnya yang ditempuh, gelar
bukanlah ukuran kemapanan ilmu yang dimiliki seseorang. Ya, gelar yang
didapatkan setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan formal dalam sebuah
lembaga atau institusi pendidikan. Toh pada akhirnya memang pengalaman adalah
guru terbaik. Waktu sebagai lembaga informal yang melahirkan guru-guru terbaik.
Terkadang terbesit wah si X lulusan X dan gelar X
membuat decak kagum atas bidang keilmuannya yang tengah ditekuni. Tetapi, tanpa
disadari diluar sana banyak yang mumpuni dalam bidangnya tanpa dengan tertempel
gelar di namanya.
Seorang bernama Fulan memang bisa disebut
pendidikan formalnya tidak begitu mulus, bahkan sempat terhenti dan memulai
lagi karena ia memiliki passion dan niat yang mulia. Passion nya yang ingin
mengubah jalan hidupnya dengan bekerja di Luar negeri dan niatannya yang ingin
membantu keluarganya, sebagai anak laki-laki satu-satunya ia memiliki kewajiban
secara materiil bagi orang tuanya, ia memupuskan kuliahnya demi membantu
keluarganya. Akhirnya, ia bisa membantu membiayai orang tua dan adiknya
bersekolah. Disaat ia rasa cukup
dan adiknya bisa bersekolah dengan baik hingga hampir menyelesaikan kuliahnya
ia pun meneruskan kembali kuliahnya. Ia menjalani kuliah sambil mengejar
passionnya menjadi wirausaha. Merintis puing demi puing untuk membangun
mimpinya, menjadi pengusaha yang bukan hanya bermanfaat untuk diri sendiri dan
keluarga tapi juga bisa bermanfaat untuk orang lain dengan membuka banyak
lapangan pekerjaan. Bukan mengkayakan diri sendiri tapi juga turut mengkayakan
kehidupan orang lain. Bukan menyukseskan hanya diri sendiri tetapi ikut juga
menyukseskan orang lain.
Lalu, saya disini terdiam berkaca pada diri.
Mendapat ‘teguran’ lagi dari kisah seorang Fulana
teman yang bekerja di perusahaan yang sama dengan saya. Awalnya saya cukup tau
saja mendengar cerita tentang Fulana tsb. Karena saya bekerja di staff hrd, jadi
saya memiliki cukup data untuk mengetahui rekam jejak karyawan baik dilihat
dari keluarga, pendidikan, atau pengalaman kerjanya. Fulana disini bekerja
sebagai staff IT saya tahu betul berapa kisaran salary per bulan yang
diterimanya. Rasanya cukup miris dengan jumlah segitu untuk seorang laki-laki
di zaman sekarang dan harus membantu kedua orang tua untuk membiayai adik-adiknya. Ia
tidak meneruskan kuliahnya.
Hari ini saya memintanya membetulkan keruwetan
sistem yang terjadi di laptop saya. Sedikit cerita saya dapatkan darinya,
tentang dirinya yang tak melanjutkan kuliah. Dari segi keilmuan wah, luar biasa
keilmuan IT dan pengalaman yang didapatkannya. Sedikit terbesit, gaji
perbulan yang diterima dari kantor ini rasanya tak layak ia dapatkan, di luar
sana mungkin saja ia bisa mendapatkan lebih banyak, yang bisa menghargai
kemampuannya itu lebih.
Awalnya perbincangan dimulai karena adanya
panggilan telefon dari bank yang menawarkan asuransi pada saya. Fulana pun
berujar, “saya juga mau nanti ah investasi kalau adik saya yang ini bentar lagi lulus kuliah”. Ternyata,
Fulana selama ini membantu biaya perkuliahan adiknya yang berkuliah di
Perminyakan-pertambangan ITB. “wahh hebat adiknya...”, ucap saya polos. “adik-adik
saya mah jangan kayak saya pokoknya”, begitu tuturnya.
Dari perbincangan itulah saya mendapatkan
informasi tentangnya, bahwa selama ini ia bekerja di perusahaan untuk membiayai
pokok hidupnya dan ia bekerja tambahan untuk orangtua dan adik-adiknya, freelance sebagai IT yang menangani proyek
dengan bank tertentu, lalu menjadi guru privat SMP untuk pelajaran matematika,
karena ia pernah berkuliah di Universitas keguruan negeri di bandung dengan
keilmuan matematika murni.
Mungkin, bagi saya saat saya berkuliah tak terbayangkan
jikasanya saya harus berhenti kuliah dan bekerja untuk membiayai ortu atau
adik. Selama ini yang saya dapatkan hidup nyaman mendapat berbagai fasilitas
dari kedua orang tua. Berkuliah karena mamah ingin saya berkuliah disana, saya
hanya manut pada orang tua dan menjalaninya begitu saja, lalu lulus dengan
hasil yang cukup memuaskan bagi saya sudah cukup. Tapi diluar itu, ternyata
masih banyak orang lain yang luar biasa perjuangannya untuk dapat berkuliah,
bukan hanya demi gelar semata agar terciptanya bangga bagi kedua orang tua,
melainkan ilmu. Mereka rela menggadaikan waktunya disaat orang seusianya
mungkin bisa dengan mudah berkuliah tanpa harus memikirkan ini-itu lalu mendapatkan gelar sesuai harapannya. Waktu
yang mereka gadaikan waktu pula lah yang memberikan penghargaan tak ternilai
padanya, atas kemuliaan yang mereka lakukan, atas alasan dari ketergadaian
waktu mereka yang terbatas. Meski waktu yang bergulir telah mereka korbankan
untuk kemuliaan, dalam hati kecil mereka masih ada asa untuk menggapainya,
bukan hanya gelar tapi pengalaman, lingkungan, penghargaan atas dirinya dan
ilmu tentunya.
Seperti di luar nalar saya, kejadiannya Fulan memulai
semester baru, terdapat kesalahan saat ia meregistrasikan mata kuliah sesuai
dengan beban SKS yang menjadi haknya ( biasanya SKS dapat ditempuh disesuaikan
dengan IPK terakhir, misal IPK 3,5 bisa menempuh perkuliahan sebanyak 24 SKS
dalam satu semester). Ia tidak mendaftar
seperti halnya teman-temannya yang lain pada satu mata kuliah, dengan santainya
ia tak masalah jika harus semester depan mengambil mata kuliah tersebut, toh ia
masih bisa mengikuti perkuliahan tsb seperti biasanya. Dengan bersemangat ia
mengambil perkuliahan yang jelas-jelas tidak masuk kedalam perhitungan SKS yang
sudah ditempuhnya. “...Kan yang terpenting ilmu nya, bukan SKS nya, sekarang
ikut masuk kelas, semester depan juga”. Hehe orang yang aneh.
Begitulah cerita hari ini, cukup menarik dan
menohok saya. Bercermin pada diri “Maka nikmat tuhan-Mu manakah yang telah kamu
dustakan?”.
Dont ever determine or judge people what they have
now, but what they have to do with they life.
Ya, itulah hidup banyak kisah-kisah yang
menakjubkan jika kita ketahui, cermati, dan syukuri.
Wassalam.
Catatan harianku, 19-05-2014