Senin, 11 Agustus 2014

Perjuanganku Masuk Fakultas Kedokteran Gigi (Bantu tugas Essay ade)


Dear Diary,

Niat hati membatu adik membuat essay untuk kepentingan ospeknya, tapi dipikir lumayan jg untuk isi postingan di blog yg mulai meredup dan vaccum. baiklah... Cekidot ya... itung-itung mengasah lg yang sudah tumpul.

Bismillah...


 Perjuanganku Masuk Fakultas Kedokteran Gigi

Semasa kecil sama seperti halnya anak-anak pada umumnya, ketika ditanyakan ingin menjadi apa di masa depan, singkat ku jawab, “Menjadi dokter”, ternyata memang benar kata-kata itu seperti doa. Padahal, ketika anak-anak mungkin tak pernah terlintas bagaimana perjuangan agar bisa menggapai cita itu, yang diketahui dan terlintas dalam benak hanyalah aku ingin menjadi seperti bapak/ibu itu yang sering kita jumpai profesinya, entah karena kebaikan dan ketulusan yang diberikan sang bapak/ibu itu ataukah hal-hal tertentu yang menjadi imajenasi seorang anak.

Aku, Nadya, anak ke-3 dari tiga bersaudara, anak bungsu. Ayah saya seorang PNS dan ibu pensiunan karyawati PT.POS. Kedua orang tua ku selalu mengajarkan pentingnya pendidikan dan akademis pada anak-anaknya. Mereka selalu memberikan yang terbaik untuk kami. Kakak-kakakku telah lulus dan menjadi sarjana. Aku mendapatkan pendidikan yang baik di sekolah favorit di kota kelahiran saya, Purwakarta. Sejak kecil aku menyukai binatang terutama kucing, dahulu terlintas  cita-cita ingin menjadi dokter hewan saja atau dokter anak karena aku menyukai anak-anak meski aku tak pandai mengasuh.

Ayah dahulu memiliki harapan ketika kakak perempuanku masuk SMA ingin dia menempuh pendidikan di jurusan Ilmu Alam, namun ia kurang menyukai ilmu pasti dan cenderung lebih menyukai membaca dan seni, hingga akhirnya ia menekuni ilmu sosial. Harapan Ayah tinggal padaku, aku tahu orang tua ku pasti berharap pada ku sebagai anak bungsu untuk bisa mewujudkan harapannya. Alhasil, sepanjang aku bersekolah di SMA aku memiliki kecenderungan kesukaan pada pelajaran ilmu pasti, aku pun masuk jurusan ilmu alam. Di kelas aku menemukan passion ku tentang ilmu, aku memiliki teman-teman dengan passion yang beragam, dari mereka aku belajar arti mimpi dan cita. Akademisku pun semakin membaik, karena lingkungan teman di sekolah pun mendukung.

Aku tahu cita-cita itu butuh pengorbanan. Dahulu ketika SMP Ibu menyuruhku untuk fokus belajar dan sekolah, aku dilarangnya untuk menjalin hubungan dengan laki-laki. Bahkan terkadang Ibu begitu protektifnya terhadap pergaulanku. Aku tak pernah boleh ikut jika ada tamasya ke luar kota yang diadakan oleh sekolah yang menghabiskan waktu beberapa hari dan menginap. Mungkin saat itu aku sebal, mengapa kebutuhanku akan tamasya begitu terasa di batasi. Ingin main ke rumah teman lalu menginap sambil belajar bareng pun tak boleh, ibu lebih senang teman-temanku yang menginap di rumah dan kami belajar bersama di rumah. Terkadang aku mengasihani diri mengapa aku tak pernah berlibur seperti teman-temanku yang lain, misalnya sebagai hadiah atas prestasi rangking yang didapatkan di sekolah. Ingin rasanya menuntut atas prestasi dan perjuanganku, tapi aku memendam dan ibu terkadang memberikan opsi lain sebagai penggantinya, biasanya hadiah berupa barang.

          Begitulah sejumlah pengorbanan yang kini ku ilhami sebagai hikmah atas hadiah yang Tuhan berikan untukku, tentunya atas perjuangan dan doa kedua orang tua ku. Aku akan mendapatkan sesuai yang aku perjuangkan. Aku sempat jatuh sakit radang usus karena pola makanku yang tak baik. Ketika baru mulai beradaptasi dengan rutinitas belajar ku yang ritmenya mulai begitu meningkat tajam, aku terkadang lupa makan dan lupa waktu, bahkan aku sering mengeluh pada ibu pulang les malam lalu minggu nya kerja kelompok atau belajar bersama. Waktu kebersamaan dengan keluarga pun sedikit. Kadang, aku ditinggal mereka ke Bandung karena berbentrokan dengan acara ku di sekolah. Alhasil, aku menginap dengan teman di rumah, itupun atas permintaan ortu ku agar mereka dengan tengan meninggalkanku ke luar kota.
Saat penentuan pilihanku pada Dokter gigi, awalnya aku dibuat gamang oleh pilihan-pilihan yang begitu memusingkan, hingga aku sedikit depresi menangis dan bingung harus pilih yang mana sampai aku bertanya pada semua orang di keluargaku, meminta masukan dan doa agar aku bisa didekatkan dan diberikan jalan pada pilihan pendidikan yang harus aku tempuh. Pilihan ini begitu sulit rasanya, ada ketertakutan yang begitu besar aku takut salah melangkah, pilihan ini menentukan Master Masa depanku, karena ada harap kedua orang tuaku yang juga ku emban.

           Pilihan yang menjadi pertimbanganku saat itu adalah ITB dan Kedokteran. Saat itu aku pernah mengikuti sosialisasi yang diadakan di ITB, aku jatuh cinta pada lingkungan yang ada di kampus ITB, rasanya orang-orangnya menyenangkan di sini, dan masa depan pun terjamin, mendengar cerita dari banyak orang. Tapi, aku memandang lagi cita-citaku semasa kecil menjadi dokter aku ingin juga mejadi dokter karena harapan keluarga juga. Jika aku menempuh pendidikan dokter, biaya adalah kendala yang memenuhi pikiranku. Kakak laki-laki ku pun menyarankan agar berpikir ulang untuk pilihan dokter. Pilihan dokter yang menjadi prioritas ku saat itu adalah dokter gigi. Aku melihat peluang emas untuk kemungkinan aku bisa lulus jalur Undangan.

            Aku dan ibuku sama-sama gamang, kami sama-sama berdoa sekuat tenaga agar Tuhan memberikan pilihan yang terbaik untukku dan keluargaku. Awalnya, karena telah jatuh cinta dengan ITB aku memutuskan memilih ITB dengan jurusan ilmu hayati. Itu pun atas ijin dan restu Ibu ku. Hati ini pun sedikit lega dan tenang akhirnya bisa memilih. Namun, entah mengapa di saat hari terakhir pendaftaran untuk jalur undangan Ibu memintaku mengubah pilihanku. Aku sedikit marah, mengapa Ibu tiba-tiba merubahnya.
 “De, mamah mimpi kamu pakai baju dokter”, begitu tuturnya.

            Akhirnya aku memutuskan dengan tekad bulat atas ilham ibu ku untuk memilih fakultas kedokteran gigi unpad sebagai pilihan pertama dan Akuntansi unpad sebagai pilihan kedua. Bahkan aku tiadak menjadikan ITB sebagai pilihanku di akhir batas pendaftaran. Dengan berbekal ridho dan doa Ibu ku itulah aku berbasmallah semoga Tuhan memudahkan jalan-Nya. Tuhan jika memang engkau peluk mimpi semasa kecilku, inilah saatnya, peluklah mimpiku menjadi seorang dokter, mampukan aku dan bahagiakan aku dan keluargaku jika aku kelak menjadi dokter atas ridha-Mu.

            Harap cemas menghiasi hari-hari ku menunggu pengumuman kelulusan jalur undangan. Aku sudah lemah hati, perasaanku aku tak lulus. Sudah begitu patah semangatnya aku, hingga ortu dan keluarga kerap membesarkan hatiku. Bahkan aku sudah ikut intensif di bandung untuk ikut ujian tertulis nanti, sebagai opsi lain jika aku tidak lulus jalur undangan. Keterputusasaan itu kian memuncak ketika detik-detik menuju pengumuman, kakak dan ibu membuatkan opsi-opsi jika aku tidak lulus jalur undangan ataupun tes tertulis, hingga opsi pahit aku disuruh menganggur 1 tahun dengan mengikuti kursus insentif dan ikut tes tertulis tahun depan. Aku tak mau itu terjadi, disaat seharusnya aku berkuliah, melihat teman-teman seangkatanku dalam suasana kuliah, aku berkutat dengan ilmu SMA untuk fokus pada tes tertulis tahun depan.

            Hari pengumuman tiba, mamah menitipkan pesan, “De ikhlas ya...coba ucapkan dalam hati, ikhlaskan apapun hasilnya, pun jika tak lolos harus menerima segala pahit yang terjadi”. Aku pun mencoba ikhlas hari itu. Kakak ku yang membuka web untuk melihat pengumuman, karena rasanya tak mau aku melihat kegagalan ku sendiri.

           SELAMAT, ANDA DINYATAKAN LULUS SNMPTN 2014. PROGRAM STUDI DI MANA ANDA DITERIMA SNMPTN 2014 ADALAH PTN UNIVERSITAS PADJADJARAN DAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER, ucap kakakku. Aku tak percaya, tapi kakakku memelukku hangat lalu menangis, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, dan ternyata benar. Alhamdulillah, aku pun menelepon Ayahku sambil menangis. 

        Ayah tak kuasa menerima telepon panggilan dari ku, ia menyangka aku tak lulus dan tak mau mendengar  berita nya ia mengalihkan telepon itu pada Ibu. “Mah Dedut Lulus masuk fakultas Dokter Gigi Unpad”. Itulah hari terbaik dan terindah bagi ku di 2014 ini. Terima kasih Tuhan, mam, pap, keluargaku. Inilah langkah awal perjuanganku menggapai mimpi semasa kecil, semoga tercapai. Aamiin.

Minggu, 18 Mei 2014

Dont determine or judge people by the title



Assalamualaikum....

Dear diary,

“Don’t ever judge people by  the title”

Ya, itulah mungkin ungkapan dari pengalaman saya hari ini.  Ada hikmah yang terkandung dari setiap cerita yang saya lihat, dengar dan ketahui, mebuat pikiran berlari-lari dalam angan dan ingin menuangkannya dalam bentuk tulisan untuk bisa bermanfaat.

Pernahkah kita menilai seseorang karena gelar yang dimiliki? Misalnya, ketika kita terjun di dunia kerja, gelar itu pasti menjadi sorotan, seolah sebagai patokan kredibilitas kita pada pekerjaan yang ditekuni. Misalnya saya bekerja sebagai staff hrd setidak-tidaknya gelar dari keilmuan yang sesuai akan memberikan nilai plus untuk kita, entah itu sebentuk penghargaan dari orang lain kepada kita atau sebagai senjata untuk diri kita dalam menggeluti pekerjaan.  Atau lain soal ketika kita memilih pasangan hidup. Pada umumnya sebentuk gelar yang menaungi nama kedua mempelai memberi nilai plus para tamu undangan, right? Seolah ada kebanggaan tersendiri baik untuk tamu undangan atau pihak penyelenggara. 

Tapi, apa yang saya dapatkan hari ini menelusuri relung dan pikiran saya. Bahwa mindset penilaian terhadap kredibilitas seseorang dapat diukur dari gelar yang dimilikinya adalah pemikiran yang salah.
Beberapa orang saya temui memiliki kisah yang sama dan sejalan. Lalu diambil simpulan, gelar tidaklah melulu merupakan cerminan kredibilitas seseorang mumpuni atas bidangnya yang ditempuh, gelar bukanlah ukuran kemapanan ilmu yang dimiliki seseorang. Ya, gelar yang didapatkan setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan formal dalam sebuah lembaga atau institusi pendidikan. Toh pada akhirnya memang pengalaman adalah guru terbaik. Waktu sebagai lembaga informal yang melahirkan guru-guru terbaik.

Terkadang terbesit wah si X lulusan X dan gelar X membuat decak kagum atas bidang keilmuannya yang tengah ditekuni. Tetapi, tanpa disadari diluar sana banyak yang mumpuni dalam bidangnya tanpa dengan tertempel gelar di namanya.

Seorang bernama Fulan memang bisa disebut pendidikan formalnya tidak begitu mulus, bahkan sempat terhenti dan memulai lagi karena ia memiliki passion dan niat yang mulia. Passion nya yang ingin mengubah jalan hidupnya dengan bekerja di Luar negeri dan niatannya yang ingin membantu keluarganya, sebagai anak laki-laki satu-satunya ia memiliki kewajiban secara materiil bagi orang tuanya, ia memupuskan kuliahnya demi membantu keluarganya. Akhirnya, ia bisa membantu membiayai orang tua dan adiknya bersekolah. Disaat ia rasa cukup dan adiknya bisa bersekolah dengan baik hingga hampir menyelesaikan kuliahnya ia pun meneruskan kembali kuliahnya. Ia menjalani kuliah sambil mengejar passionnya menjadi wirausaha. Merintis puing demi puing untuk membangun mimpinya, menjadi pengusaha yang bukan hanya bermanfaat untuk diri sendiri dan keluarga tapi juga bisa bermanfaat untuk orang lain dengan membuka banyak lapangan pekerjaan. Bukan mengkayakan diri sendiri tapi juga turut mengkayakan kehidupan orang lain. Bukan menyukseskan hanya diri sendiri tetapi ikut juga menyukseskan orang lain.

Lalu, saya disini terdiam berkaca pada diri.

Mendapat ‘teguran’ lagi dari kisah seorang Fulana teman yang bekerja di perusahaan yang sama dengan saya. Awalnya saya cukup tau saja mendengar cerita tentang Fulana tsb. Karena saya bekerja di staff hrd, jadi saya memiliki cukup data untuk mengetahui rekam jejak karyawan baik dilihat dari keluarga, pendidikan, atau pengalaman kerjanya. Fulana disini bekerja sebagai staff IT saya tahu betul berapa kisaran salary per bulan yang diterimanya. Rasanya cukup miris dengan jumlah segitu untuk seorang laki-laki di zaman sekarang dan harus membantu kedua orang tua untuk membiayai adik-adiknya. Ia tidak meneruskan kuliahnya.
Hari ini saya memintanya membetulkan keruwetan sistem yang terjadi di laptop saya. Sedikit cerita saya dapatkan darinya, tentang dirinya yang tak melanjutkan kuliah. Dari segi keilmuan wah, luar biasa keilmuan IT dan pengalaman yang didapatkannya. Sedikit terbesit, gaji perbulan yang diterima dari kantor ini rasanya tak layak ia dapatkan, di luar sana mungkin saja ia bisa mendapatkan lebih banyak, yang bisa menghargai kemampuannya itu lebih.

Awalnya perbincangan dimulai karena adanya panggilan telefon dari bank yang menawarkan asuransi pada saya. Fulana pun berujar, “saya juga mau nanti ah investasi kalau adik saya  yang ini bentar lagi lulus kuliah”. Ternyata, Fulana selama ini membantu biaya perkuliahan adiknya yang berkuliah di Perminyakan-pertambangan ITB. “wahh hebat adiknya...”, ucap saya polos. “adik-adik saya mah jangan kayak saya pokoknya”, begitu tuturnya. 

Dari perbincangan itulah saya mendapatkan informasi tentangnya, bahwa selama ini ia bekerja di perusahaan untuk membiayai pokok hidupnya dan ia bekerja tambahan untuk orangtua dan adik-adiknya,  freelance sebagai IT yang menangani proyek dengan bank tertentu, lalu menjadi guru privat SMP untuk pelajaran matematika, karena ia pernah berkuliah di Universitas keguruan negeri di bandung dengan keilmuan matematika murni. 

Mungkin, bagi saya saat saya berkuliah tak terbayangkan jikasanya saya harus berhenti kuliah dan bekerja untuk membiayai ortu atau adik. Selama ini yang saya dapatkan hidup nyaman mendapat berbagai fasilitas dari kedua orang tua. Berkuliah karena mamah ingin saya berkuliah disana, saya hanya manut pada orang tua dan menjalaninya begitu saja, lalu lulus dengan hasil yang cukup memuaskan bagi saya sudah cukup. Tapi diluar itu, ternyata masih banyak orang lain yang luar biasa perjuangannya untuk dapat berkuliah, bukan hanya demi gelar semata agar terciptanya bangga bagi kedua orang tua, melainkan ilmu. Mereka rela menggadaikan waktunya disaat orang seusianya mungkin bisa dengan mudah berkuliah tanpa harus memikirkan ini-itu  lalu mendapatkan gelar sesuai harapannya. Waktu yang mereka gadaikan waktu pula lah yang memberikan penghargaan tak ternilai padanya, atas kemuliaan yang mereka lakukan, atas alasan dari ketergadaian waktu mereka yang terbatas. Meski waktu yang bergulir telah mereka korbankan untuk kemuliaan, dalam hati kecil mereka masih ada asa untuk menggapainya, bukan hanya gelar tapi pengalaman, lingkungan, penghargaan atas dirinya dan ilmu tentunya.

Seperti di luar nalar saya, kejadiannya Fulan memulai semester baru, terdapat kesalahan saat ia meregistrasikan mata kuliah sesuai dengan beban SKS yang menjadi haknya ( biasanya SKS dapat ditempuh disesuaikan dengan IPK terakhir, misal IPK 3,5 bisa menempuh perkuliahan sebanyak 24 SKS dalam satu semester).  Ia tidak mendaftar seperti halnya teman-temannya yang lain pada satu mata kuliah, dengan santainya ia tak masalah jika harus semester depan mengambil mata kuliah tersebut, toh ia masih bisa mengikuti perkuliahan tsb seperti biasanya. Dengan bersemangat ia mengambil perkuliahan yang jelas-jelas tidak masuk kedalam perhitungan SKS yang sudah ditempuhnya. “...Kan yang terpenting ilmu nya, bukan SKS nya, sekarang ikut masuk kelas, semester depan juga”. Hehe orang yang aneh.
Begitulah cerita hari ini, cukup menarik dan menohok saya. Bercermin pada diri “Maka nikmat tuhan-Mu manakah yang telah kamu dustakan?”.

Dont ever determine or judge people what they have now, but what they have to do with they life.

Ya, itulah hidup banyak kisah-kisah yang menakjubkan jika kita ketahui, cermati, dan syukuri.

Wassalam.
Catatan harianku, 19-05-2014